Beranda | Artikel
Akidah Dan Syariat
Selasa, 12 Maret 2019

AKIDAH DAN SYARI’AT

Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim Atsari

Sesungguhnya, termasuk perkara yang diketahui secara pasti dalam agama Islam bahwa dien (agama Islam) adalah akidah dan syari’at, ilmu dan amal. Keduanya adalah satu kesatuan, memisahkan antara keduanya merupakan kesesatan yang nyata.

MAKNA AKIDAH
Secara bahasa akidah berasal dari kata al-‘aqdu, artinya: mengikat, memutuskan, menguatkan, mengokohkan, keyakinan, dan kepastian. [Lihat Mu’jamul Wasith bab:   عقد]

Adapun secara istilah, akidah memiliki makna umum dan khusus. [At-Talâzum bainal ‘Akidah wasy Syari’ah, hlm: 9, karya syaikh Dr. Nashir bin Abdul Karim al-‘Aql]

Makna akidah secara umum adalah: keyakinan kuat yang tidak ada keraguan bagi orang yang meyakininya, baik keyakinan itu haq atau batil.

Sedangkan akidah dengan makna khusus adalah akidah Islam, yaitu: pokok-pokok agama dan hukum-hukum yang pasti, yang berupa keimanan kepada Allâh Azza wa Jalla , malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para nabi-Nya, hari akhir, serta beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk. Dan perkara lainnya yang diberitakan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam al-Qur’an dan oleh Rasul-Nya di dalam hadits-hadits yang shahih. Termasuk akidah Islam adalah kewajiban-kewajiban agama dan hukum-hukumnya yang pasti. Semuanya itu wajib diyakini dengan tanpa keraguan.

MAKNA SYARI’AT
[At-Talâzum bainal ‘Akidah wasy Syari’ah, hlm: 10-11]
Secara bahasa syari’at berasal dari kata asy-syar’u, artinya: membuat jalan, penjelasan, tempat yang didatangi, dan jalan.

Adapun secara istilah, syari’at memiliki makna umum dan khusus.

Makna syari’at secara umum adalah: agama yang telah dibuat oleh Allâh Azza wa Jalla , mencakup akidah (keyakinan) dan hukum-hukum. Hal ini seperti firman Allâh Azza wa Jalla :

شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰ ۖ أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ ۚ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ ۚ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ

Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allâh menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya). [Asy-Syura/42:13]

Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir Ath-Thobari rahimahullah meriwayatkan dari As-Suddi tentang firman Allâh Azza wa Jalla : “ Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh“, dia berkata: “itu adalah agama semuanya (yakni semua bagian-bagiannya-pen)”.

Dari Qotadah rahimahullah tentang firman Allâh Azza wa Jalla : “ Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh“, dia berkata: “Allâh Azza wa Jalla telah mengutus Nuh ketika Dia mengutusnya dengan syari’at, dengan menghalakan yang halal dan mengharamkan yang haram”.  [Lihat dua riwayat ini di dalam Tafsir Ath-Thabari juz 11, hlm: 134]

Juga firman-Nya:

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ

Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. [Al-Jatsiyah/45:18]

Imam Ibnu Jarir rahimahullah berkata tentang ayat ini: “Allâh Azza wa Jalla Yang Maha Tinggi sebutan-Nya berkata kepada Nabi-Nya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Kemudian Kami jadikan kamu –hai Muhammad- berada di atas suatu thariqah, sunnah, minhaj (tiga kata ini artinya jalan) para Rasul yang telah Kami perintahkan sebelummu”. [Lihat Tafsir ath-Thabari, juz: 11, hlm: 258]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat ini: “Yaitu: ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Rabbmu (Penciptamu; Penguasamu), tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Dia, dan berpalinglah dari orang-orang musyrik”. [Tafsir Ibnu Katsir, juz: 4, hlm: 191]

Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata menjelaskan tentang ayat ini: “Arti syari’at di dalam bahasa Arab adalah: pendapat, agama, dan jalan yang terang. Syari’at juga berarti: tempat air yang didatangi oleh para peminumnya. (Di dalam bahasa Arab jalan disebut) syâri’ karena ia merupakan jalan menuju tujuan.

Adapun yang dimaksudkan syari’at di sini –yakni menurut istilah agama- adalah: apa yang Allâh Azza wa Jalla syari’atkan (buat peraturan) yang berupa agama, bentuk jama’nya adalah syarâi’.

(Arti ayat ini) yaitu: Kami telah menjadikan kamu –wahai Muhammad- berada di atas suatu jalan yang jelas dari urusan (agama itu) yang akan menghantarkanmu menuju al-haq. “Maka ikutilah syariat itu”, yaitu maka amalkanlah hukum-hukumnya pada umatmu. “Dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”, terhadap tauhidulloh dan syari’a-syari’atNya untuk hamba-hambaNya, mereka adalah orang-orang kafir Quroisy dan yang menyetujui mereka”.[Lihat Tafsir Fathul Qadir juz: 5, hlm: 11]

Dari keterangan ini, jelaslah bahwa istilah syari’at pada ayat-ayat ini mencakup semua bagian agama yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang berupa al-haq (kebenaran) dan al-huda (petunjuk), dalam masalah akidah dan hukum-hukum.

Sedangkan makna syari’at secara khusus adalah: peraturan yang Allâh Azza wa Jalla buat yang berupa hukum-hukum, perintah-perintah, dan larangan-larangan. Hal ini seperti firman Allâh Azza wa Jalla :

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا 

Untuk tiap-tiap umat diantara kamu [maksudnya: umat Nabi Muhammad s.a.w. dan umat-umat yang sebelumnya] Kami berikan syari’at (aturan) dan jalan yang terang. [Al-Maidah/5:48]

Telah diketahui bahwa maksud syari’at (aturan) dalam ayat ini adalah peraturan-peraturan, bukan akidah. Karena akidah seluruh para Nabi itu sama, sedangkan peraturannya berbeda-beda sesuai dengan keadaannya. [Lihat Tafsir Ath-Thabari, Ibnu Katsir, Fathul Qadir, pada ayat ini]

Dengan ini kita mengetahui bahwa syari’at memiliki makna umum dan khusus. Jika syari’at disebut sendiri, maka yang dimaksudkan adalah makna umum, yaitu agama Islam secara keseluruhan. Sebaliknya, jika syari’at disebut bersama akidah, maka yang dimaksudkan adalah makna khusus, yaitu hukum-hukum, perintah-perintah, dan larangan-larangan di dalam agama yang bukan akidah (keyakinan).

HUBUNGAN AKIDAH DENGAN SYARI’AT
Sesungguhnya istilah akidah jika disebut secara umum (sendirian), maka itu memuat pokok-pokok dan hukum-hukum syari’at dan mengharuskan mengamalkan syari’at. Sebagaimana istilah syari’at jika disebut secara umum (sendirian), maka itu memuat perkara-perkara keimanan dan pokok-pokok serta hukum-hukum syari’at yang pasti, yaitu akidah. Sebagaimana di atas telah dijelaskan dari firman Allâh Azza wa Jalla :

شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ

Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu. [Asy-Syura/42:13]

Dengan demikian maka akidah dan syari’at merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sebagaimana telah diketahui bahwa iman itu memuat keyakinan dan amalan, keyakinan ini yang disebut akidah, dan amalan ini yang disebut syari’at. Sehingga iman itu mencakup akidah dan syari’at, karena memang iman itu jika disebutkan secara mutlak/sendirian mencakup keyakinan dan amalan, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allâh dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allâh. mereka Itulah orang-orang yang benar. [Al-Hujurat/49:15]

Juga fiman-Nya Azza wa Jalla :

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ﴿٢﴾الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ﴿٣﴾أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا ۚ لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman (maksudnya: orang yang sempurna imannya) ialah mereka yang bila nama Allâh disebut, hati mereka gemetar, dan apabila ayat-ayat-Nya dibacakan, iman mereka bertambah (karenanya), dan hanya kepada Rabbnya mereka bertawakkal.

(Yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.

Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Rabbnya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia. [Al-Anfâl/8:2-4]

Dan ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa iman itu terdiri dari keyakinan dan amalan.

Imam Muhammad bin Nashr al-Marwazi t berkata di dalam kitab ash-Shalat: “Perumpamaan iman pada amalan seperti qolbu (hati; jantung) pada badan, keduanya tidak terpisahkan. Tidaklah ada orang yang memiliki badan yang hidup, namun tidak ada qolbunya. Juga tidak ada orang yang memiliki qolbu, namun tanpa badan. Maka  keduanya itu adalah dua perkara yang berbeda, namun hukumnya satu, sedangkan maknanya berbeda. Perumpamaan keduanya juga seperti biji yang memiliki luar dan dalam, sedangkan biji itu satu.Tidaklah dikatakan dua, karena sifat keduanya yang berbeda. Maka demikian juga amalan-amalan Islam dari (ajaran) Islam adalah iman sebelah luar, yaitu termasuk amalan-amalan anggota badan. Sedangkan iman adalah Islam sebelam dalam, yaitu termasuk amalan-amalan hati”. [Kitabul Iman, hlm: 283, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah]

Berdasarkan ini, maka memisahkan syari’at dengan akidah tidaklah benar menurut agama.

MENERAPKAN SYARI’AT
Sesungguhnya menerapkan syari’at Allâh Azza wa Jalla di muka bumi merupakan kewajiban setiap Muslim, secara individu atau jama’ah, sebagai penguasa atau rakyat. Karena setiap orang mengemban amanah, dan setiap orang akan dimintai tanggung jawab atas amanah tersebut. Allâh Azza wa Jalla berfirman memerintahkan Râsul-Nya untuk memutuskan perkara manusia dengan  apa yang telah Allâh Azza wa Jalla turunkan:

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ

Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allâh, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allâh kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allâh), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allâh menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. [Al-Maidah/5:49]

Allâh Azza wa Jalla juga telah berfirman memerintahkan manusia untuk mengikuti syari’at-Nya dan meninggalkan siapa saja yang bertentangan dengannya:

اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ ۗ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ

Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya). [Al-A’râf/7:3]

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata: “Allâh Azza wa Jalla memerintahkan untuk mengikuti apa yang diturunkan dari-Nya secara khusus, dan Dia memberitahukan bahwa barangsiapa mengikuti selainnya, maka dia telah mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.” [I’lamul Muwaqqi’in ; 2/46 ; Darul Hadits, Kairo, th: 1422 H / 2002 H]

KEWAJIBAN MENERAPKAN SYARI’AT ATAS SETIAP MUSLIM
Sebagian orang beranggapan bahwa menegakkan syari’at itu kewajiban penguasa, sehingga mereka selalu menuntut penguasa untuk menerapkan hukum-hukum Allâh Azza wa Jalla , sedangkan mereka sendiri nampak jauh dari tuntunan syari’at.  Ini adalah pemahaman yang sempit. Karena sesungguhnya kewajiban menegakkan hukum Allâh Azza wa Jalla mengenai setiap orang Muslim, baik dia sebagai penguasa atau rakyat biasa. Setiap orang bertanggung jawab dengan tugasnya masing-masing.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. [An-Nisa’/4:65]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Allâh Azza wa Jalla  bersumpah dengan diri-Nya yang mulia, yang suci, bahwa seseorang tidak beriman sampai menjadikan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai hakim dalam segala perkara. Maka apa yang Beliau putuskan adalah haq, yang wajib ditunduki secara lahir dan batin. Oleh karena inilah Allâh Azza wa Jalla berfirman: ((kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya)). Yaitu jika mereka telah menjadikanmu sebagai hakim, mereka mentaatimu di dalam batin mereka, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka tunduk kepadanya lahir batin, dan menerimanya dengan sepenuhnya, tanpa menolak dan membantah”. [Tafsir Ibnu Katsir, surat an-Nisa’/4:65]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang Mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang Mu’min, apabila Allâh dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allâh dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. [Al-Ahzab/33:36]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ayat ini umum di dalam segala perkara, yaitu jika Allâh dan Rasul-Nya telah menetapkan sesuatu, maka tidak ada hak bagi siapapun menyelisihinya, dan di sini tidak ada pilihan (yang lain) bagi siapapun, tidak ada juga pendapat dan perkataan”. [Tafsir Ibnu Katsir, surat al-Ahzâb/33:36]

Oleh karena itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ فِي أَهْلِهِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا وَالْخَادِمُ فِي مَالِ سَيِّدِهِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ قَالَ فَسَمِعْتُ هَؤُلَاءِ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَحْسِبُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَالرَّجُلُ فِي مَالِ أَبِيهِ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Setiap kamu adalah pemimpin/pengatur dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Maka imam adalah pemimpin/pengatur dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang laki-laki (kepala rumah tangga) adalah pemimpin/pengatur terhadap keluaganya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang wanita (ibu rumah tangga) adalah pemimpin/pengatur di dalam rumah suaminya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang pelayan adalah pemimpin/pengatur pada harta tuannya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya.  [HR. Al-Bukhâri, no: 2558, dari Ibnu Umar]

Dengan demikian maka setiap orang wajib menegakkan syari’at Islam sesuai dengan kemampuannya, baik dia sebagai pejabat atau rakyat.

KEWAJIBAN MENERAPKAN SYARI’AT DALAM SEGALA ASPEK KEHIDUPAN
Termasuk perkara pokok dalam agama Islam adalah bahwa seorang Muslim berkewajiban masuk ke dalam agama Islam secara total, sesuai dengan kemampuannya. Maka dia wajib mengikuti Islam di dalam akidah (keyakinan), ibadah (ketundukan hamba kepada Penciptanya), mu’amalah (hubungan antar hamba), politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lainnya dari aspek kehidupan ini. Sehingga menerapkan syari’at Islam bukan hanya yang berkaitan dengan ibadah mahdhah (murni) dan urusan pribadi saja, sebagaimana anggapan sebagian orang. Juga bukan hanya yang berkaitan dengan pemerintahan saja. Bahkan wajib menegakkan hukum Allâh Azza wa Jalla dalam seluruh aspek kehidupan, sesuai dengan kemampuan. Semua sisi syari’at Islam adalah penting, dan yang paling penting adalah aspek akidah, yaitu tauhid.

Allâh Azza wa Jalla berfirman mengecam orang-orang Yahudi yang mengimani sebagian ajaran kitab Taurat dan mengingkari sebagian lainnya:

أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ ۚ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَٰلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَىٰ أَشَدِّ الْعَذَابِ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ

Apakah kamu (Bani Israil) beriman kepada sebahagian Al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allâh tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. [Al-Baqarah/2:85]

Walaupun sebab turunnya ayat ini mengenai orang-orang Yahudi, tetapi kandungannya umum, juga mengenai orang-orang yang bersifat seperti sifat mereka dari kalangan kaum Muslimin. Sebagaimana telah diketahui dari kaedah tafsir:

اَلْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ

Yang dinilai adalah dengan keumuman lafazh, bukan dengan kekhususan sebab.

 Allâh Azza wa Jalla juga berfirman memerintahkan orang-orang beriman untuk memasuki agama Islam secara total. Dia Azza wa Jalla  berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. [Al-Baqarah/2:208]

Dan itu semua dilakukan dengan ikhlas untuk Allâh Azza wa Jalla :

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ﴿١٦٢﴾ لَا شَرِيكَ لَهُ ۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ

Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadah qurbanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allâh)”. [Al-An’am/6:162-163]

ANCAMAN MENYIMPANG DARI HUKUM ALLÂH
Banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi yang mengancam orang-orang yang menyimpang dari hukum Allâh Azza wa Jalla . Di antaranya adalah firman-Nya Azza wa Jalla :

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا﴿٦٠﴾وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَىٰ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari Thaghut itu. dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.

Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allâh telah turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu Lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu”. [An-Nisa’/4:60-61]

Hendaklah kita tahu bahwa semua hukum yang bertentangan dengan hukum Allâh Azza wa Jalla adalah hukum jahiliyah. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allâh bagi orang-orang yang yakin? [Al-Maidah/5:50]

Semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan petunjuk kepada semua kaum Muslimin untuk mempraktekkan syari’at Allâh Azza wa Jalla di dalam seluruh sisi kehidupan mereka, Amîn.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XXI/1439H/2018M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/11311-akidqah-dan-syariat.html